Penyair Dengan Semangat 45 di Tunjungan Ikon Surabaya
Hiruk pikuk Jl. Tunjungan pagi ini berbeda dari hari biasa yang penuh sesak dengan hilir mudik kendaraan bermotor. Ya karena ini adalah hari Minggu, dengan rutinitas Car Free Day Tunjungan. Mulai ujung selatan hingga utara dipenuhi dengan berbagai aktifitas, dari main bola, skate board, lari pagi, dan masih banyak lagi. Namun satu yang tak pernah luruh dari pandangan mata, yakni acara ngamen Tunjungan Ikon Surabaya (TIS).
Sudah hampir dua tahun berjalan acara yang digawangi Rahmat Utoyo Salim (Cak Yoyok) serta Dr. Ananto Sidohutomo (Cak Ananto), dan perubahan pun sudah semakin pesat. Yang dulu hanya ngamen lagu lagu adaptasi, sekarang sudah banyak karya yang ditampilkan. Diantaranya Jula Juli Tunjungan, parikan Suroboyo, puisi, dan stand up comedi. Bahkan hari Minggu kedua di Januari ini TIS kedatangan seorang penyair, yakni Ana Azgara. Ibu satu putra yang sedang menggarap antologi solo puisi ini sudah beberapa kali menjadi kontributor dalam acara yang diprakarsai TIS. Diantaranya Ulang Tahun TIS tahun lalu, peringatan hari Kartini, peringatan Kemerdekaan RI, Monolog Perobekan bendera, Hari Pahlawan, dan beberapa lagi.
Kali ini Ana membacakan sebuah puisi berjudul “Cerita Kubangan”. Gayanya yang khas, penuh semangat mengundang decak kagum penikmatnya, bahkan orang-orang yang sedang lalu lalang pun menyempatkan diri berhenti menyimak pembacaan puisinya. Kemudian tepuk tangan membahana mengiringi bait terahir puisi ini. Ia selalu tampil total dalam performanya beraktualisasi. Hingga dijuluki sebagai “Penyair dengan Semangat 45”.
“Puisinya kena di hati, Ning,” komentar Cak Ananto. Ana Azgara memang terkenal dengan puisi-puisi sindiran. “Inspirasi puisi ini mengalir ketika suatu sore saya melihat keadaan yang sangat timpang. Saat itu saya sedang berhenti di pinggir jalan. Sebuah pemandangan mencuri perhatian saya. Di tengah asyiknya memperhatikan, tiba-tiba lewat mobil dengan kecepatan tinggi yang memuncratkan genangan air dan tepat mengenai wajah saya, juga beberapa orang yang sedang saya perhatikan. Hingga lahirlah sebuah puisi Cerita Kubangan.” celotehnya dalam obrolan bersama Cak Ananto dan para penikmat TIS.
Ana dikenal mampu menciptakan puisi dalam waktu singkat. “Kebiasaan buruk saya adalah suka menulis puisi secara mendadak. Jadi begitu ada event, dapat inspirasi langsung aja ditulis dan jadilah puisi,” ucapnya. Berikut adalah puisi yang dibacanya hari ini.
Cerita Kubangan
Aku bukan penceramah,
Hanya kata hati yang mengandung celah
Rintik gerimis, hujan menderas
Pun air bah
Membawaku berpindah-pindah
Dipinggir jalan ini kulihat
Berbagai macam aksi
Mulai pengayuh becak, berpeluh
Dengan sandal karet bekas roda aus nya
Pedagang rangin tau renta
Dengan ronjot di pundaknya
Pengamen gagah perkasa
Dengan gitar mewah, mengetuk rumah ke rumah
Pengemis bergiwang, dengan kaki pincang penuh kasa dan tetesan darah
Sstttt, kuikuti dia
Aku berbisik pada tanah
Ketika di ujung gang
Lari tunggang langgang,
hahaha.. penipuan
Sementara, pengayuh becak berhenti karena kelaparan
Dan pedagang rangin berhenti karena kelelahan
“Kau lapar?”,
“Kau lelah berjalan?”,
Sebuntal rangin dilahap pengayuh becak
Si tua renta, menaikkan dirinya dan ronjot rangin mendapat tumpangan
Pengayuh becak menyeka dahi berpeluh
Pedagang rangin menarik nafas lega
Pengamen dan pengemis bertemu di bawah pohon rindang
Menghitung uang,
Berencana membeli makanan di restaurant
Simbiosis yang sempurna
Lewatlah mobil berpelat merah yang gagah
Menghantam, kubangan air penuh sampah
Aku tercabik, terpental, terlempar
Peluh bertambah keruh
Ronjot rangin kuyup sempurna
Uang hitungan pun basah
“Astaghfirulloh…”
“Semoga diberi hidayah”.
“Kampret!!!”
“Tak sumpahi kecemplung got”
Pengendara roda dua menghindar, hingga naik trotoar
Memandang geram dan berteriak
“Heh… ojo gaya gaya. Mobil dibeli pake uang rakyat. Dibanterno sak enak e sampe nyiprat-nyiprat”
Si pelat merah melaju cepat,
Tak peduli reaksi rakyat
“Huaduh, becak ini markir gak mau minggir”
“Gak tau ta aku ini uda telat”
Hanya geleng geleng kupandang mereka
Halus, kasar, umpat, atau gerutuan
Pemandangan kehidupan yang timpang
Apa memang negeri ini penuh sumpah serapah
Hingga berkubang musibah?
Coba meraba diri kita
Pada fajar, Sidoarjo 10 Januari 2015
No comments